Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York

Penandatanganan New York Agreement. (Foto: IST)
Oleh: Beni Pakage
Kedudukan orang Papua dalam perjanjian New York yang dilakukan pada 15 Agustus 1962.
Pada minggu lalu, kami sudah bahas mengenai tempat di buatnya New York Agreement 15 Agustus 1962. Yaitu di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat. Dimana dalam pertemuan yang mulai dari tanggal 23 maret – 15 Agustus 1962 ini, sama sekali tanpa melibatkan orang Papua.
Secara rahasia mereka mengatur semua masa depan hidup kami, orang Papua. Dan hasilnya, hari ini kami masih teriak karena menderita, ratap dan menangis setiap hari, di tanah kami. Namun di balik duka dan ratap kami hari ini, ketidakhadiran orang  Papua di Villa Huntland Middlleburg, Virgina, Amerika Serikat  ini bisa menjadi maksud atau rencana Tuhan buat kami orang Papua. Karena ketidakhadiran orang Papua di sana (Villa Huntland Middlleburg, Virginia, AS) ini, telah melahirkan Konsekwensi hukum yang harus dipertanggung Jawabkan, oleh mereka yang telah membuat kesepakatan dan menandatngani isi perjanjian ini.
Berangkat dari pijakan itu, pada kesempatan ini, kita orang Papua harus mengetahui; Konsekuensi hukum model apa yang telah ditimbulakan oleh [perjanjian yang telah ditandatangani menjadi New York Agreement ini. Dan bagaimana dalam pelaksanaannya, apakah sesuai perjanjian  atau tidak. Kalau pelaksanaan perjanjian ini sesuai, konsekwensi hukumnya apa dan kalau tidak sesuai perjanjian, konsekuensi hukumnya apa. Berikut sedikit penjelasan.
Sesuai prinsip dan unsur – unsur hukum Perjanjian ; sebuah perjanjian yang dibuat, hanya mengikat para pihak yang melakukan kesepakatan. Dan semua akibat yang timbul dari kesepakatan tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak yang bersepakat. Demikian juga, kedua belah pihak tidak bisa melimpahkan akibat atau resiko dari perjanjian yang dibuat, kepada pihak ketiga kecuali ada klausul (perjanjian) tambahan.
Bahkan, tujuan dari dilakukannya sebuah negosiasi adalah untuk mencari “Win Win Solution”(mencari jalan tengah), dimana para pihak yang terlibat di dalamnya sama – sama diuntungkan dan sama sama dirugikan. Karena negosiasi tidak bertujuan untuk mencari pemenang dan siapa yang akan kalah. Bila dalam sebuah negosiasi ada upaya untuk mencari menang dan kalah oleh salah satu pihak, pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari, walau perjanjian itu telah disepakti dan ditandatangani. Sehingga perlu pasal peralihan untuk diperbaiki di kemudian hari. Apalagi salah satu pihak ada dalam tekanan pihak lain. Ini sama saja perjanjian dianggap tidak pernah ada. Dan bila dalam sebuah negosiasi untuk perjanjian ada upaya mencari menang dan kalah, maka negosiasi itu pasti berjalan tidak fair dan dapat dikatakan bukan negosiasi tetapi pemaksaan kehendak.
Mengacu kepada adagium di atas, dan bila kita amati dengan seksama isi demi isi dari perjanjian New York antara Indonesia yang mendapat respon positif  dari Amerika dan Belanda yang ada di bawah tekanan Amerika saat itu, nampak yang terjadi adalah pihak Belanda pasti sangat pasif,  bahkan sama sekali tidak terlibat dalam pembahasan pasal pasal dalam New York Agreement ini.
Dan bila sebuah perjanjian  yang dibuat salah satu pihak ada dibawah tekanan pihak lain atau ada dibawah ancaman pihak lain maka, perjanjian ini dapat di katakan batal demi hukum karena melanggar unsur – unsur dari sebuah perjanjian yang harus bebas dari pemaksaan dan etiket baik dalam  perjanjian.
Belanda ada di bawah tekanan Amerika (lihat Surat Jhon F Kennedy kepada Yoseph Luns Menteri Luar Negeri Belanda) dan Indonesia mendapat respon positif Amerika (Lihat Kunjungan Robeth Kennedy ke Jakarta dan Surat Jhon F Kenedy kepada Soekarno), ini telah menunjukan kepada kita bahwa Amerika yang seharusnya bertindak sebagai  mediator, telah melebarkan perannya, bukan hanya sebagai mediator untuk pertemukan kedua belah pihak yang bertikai, agar menyelesaikan masalah Irian Barat, namun di balik perannya, Amerika telah  turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 ini  untuk kepentingannya. Baik untuk kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia.
Dalam sebuah negosiasi, mediator  seharusnya tidak diberi  hak untuk membuat semacam ancaman atau memberi peran positif kepada salah satu pihak. Dan Mediator seharusnya pasif dan netral agar para pihak ikut menawarkan resolusi – resolusi mereka masing – masing secara netral tanpa paksaan. Namun, bila kita amati sejarah bagaimana New York Agreement disepakti, prinsip – prinsip ini tidak diperlihatkan oleh Amerika yang bertindak sebagai mediator dalam Perjanjian ini. Malah dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Mediator yaitu Amerika Serikat di Villa Huntland Middlleburg Virginia, para peserta baik  pihak Belanda dan Indonesia, ada dalam posisi atau kedudukan  mereka yang berbeda.  Dimana Belanda ada dalam tekanan Amerika, karena Amerika seakan menyetujui Indonesia melakukan perang terbuka kepada Belanda di Irian Barat tanpa  mereka bersedia membantu Belanda dalam perang  yang akan terjadi.
Sedangkan  Indonesia secara psikologi ada di atas angin, karena mendapat respon positif Amerika yang saat itu berperan sebagai Mediator. Sehingga secara psikologi politik, Belanda ada dalam posisi tidak berdaya dan lemah.
Dalam hukum perjanjian dan negosiasi, bila para pihak ada di dalam tekanan dan posisi yang berbeda demikian, sebenarnya tidak boleh dilakukan sebuah perjanjian. Karena akan mempengaruhi isi dan makna dari perjanjian tersebut, sesuai kedudukan mereka masing – masing  saat  mereka di pertemukan Mediator. Atau secara psikologi politik, perjanjian ini tidak akan direspon dengan baik, dan tentu perjanjian akan berat sebelah dalam pelaksanaannya. Apalagi tidak ada aturan pelaksana dari New York Agreement ini sendiri. Karena Perjanjian ini saat ditandatangani akan berkedudukan sebagai konvensi PBB. Sehingga secara hirarki, ini bukan Universal tapi perlu aturan implementasi dalam pelaksanaan.(Apakah ini yang disebut Roma Agreement?)
Sebagai contoh; dalam pelaksanaan New York Agreement 15 Agustus 1962,  tepatnya tanggal 1 Mei 1963 bendera Belanda diturunkan dan bendera  Indonesia dinaikan mengganti Bendera Belanda. Seharusnya secara logis,  dalam kesepakatan  dalam perjanjian ini, yang harus diatur adalah kedua bendera baik bendera  Belanda dan Indonesia sama – sama diturunkan dan tinggal bendera PBB untuk kembalikan Papua Barat ke Konvensi PBB Pasal 73.
Kemudian pasal mengenai  penyerahan secara administrasi kekuasan kepada Indonesia, seharusnya tidak perlu dimuat dan dalam perjanjian ini, kecuali ada aturan pelaksana dan  cukup ditangani UNTEA yang ada dibawah PBB. Sehingga penyerahan administrasi kepada  mereka yang bertikai ini telah mencederai perjanjian itu sendiri. Dan perjanjian ini dapat dikatakan tidak netral atau berat sebelah. Lebih parah lagi, dengan dasar dari perjanjian yang dibuat oleh Amerika, Belanda dan Indonesia ini adalah UNTEA menggunakan pegawai dari para pihak yang bertikai. Yaitu Indonesia dan sengaja memberi bantuan militer yang terbatas ke Irian Barat dan meminta Indonesia agar melakukan kekuasaan administrasi, serta membiarkan berbagai operasi militer mulai dari operasi Sadar tahun 1965, Operasi Bharata Yudha tahun 1966-1967, Operasi Wibawa tahun 1968-1969, Operasi Tuntas tahun 1969-1970  di depan mata mereka, dan itu telah mencederai perjanjian itu sendiri. Perjanjian ini dengan jelas telah membatasi hak asazi dari pihak yang sama sekali tidak terlibat dalam kesepakatan ini. Sehingga Perjanjian ini sebagai dasar terjadi  kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat.
Bila kita amati perjanjian ini secara seksama, di atas kertas tertulis bagus, walau nampak tidak netral perjanjiannya. Mungkin harapannya untuk menggelabui negara – negara yang sedikit berpikir logis dan netral saat itu di PBB. Namun dalam pelaksanaan, perjanjian ini terlihat jauh dari harapan – harapan Universal yang ideal sebagai sebuah perjanjian.  Bahkan dilapangan (Irian Barat)  terjadi implementasi terhadap perjanjian  yang  penuh dengan manipulasi  dan intimidasi serta pembunuhan.
Kejenggalan- kejenggalan ini tidak dilihat publik dunia saat itu, karena  terbatasnya akses media, sehingga tertutup dalam teknis pelaksanaan kepada publik. Sehingga skenario ini  telah menunjukan kepada kita bahwa perjanjian ini penuh dengan konspirasi kejahatan.
Perjanjian semacam ini dapat dikatakan sebagai perjanjian tanpa dasar hukum dan dapat dikatakan batal demi hukum. Bukan hanya karena salah satu pihak ada dibawah tekanan dan ancaman, tetapi lebih batal lagi adalah karena mediator turut memaksa dan berperan sebagai negosiator dan pelaksaan dari perjanjian ini tidak sesuai isi dan tulisannya. Atau orang Papua bilang; tulis lain main lain. Sehingga dapat dikatakan, Perjanjian New York tidak pernah sama sekali terjadi. Apalagi baik Amerika, Belanda dan Indonesia saling menawarkan kepentingan tanpa mempertim bangkan konsekuansi atau akibat – akibat  hukum yang akan ditimbulkan melalui perjanjian yang mereka buat terhadap orang Papua.
Sekarang bagaimana dengan Orang Asli Papua  yang sebagai pemilik sah tanah New Guinea Barat? Dalam hukum perjanjian, orang Papua sama sekali tidak diikat oleh perjanjian ini. Bahkan orang Papua tidak tahu dengan perjanjian yang dibuat antara Belanda, Indonesia dan Amerika melalui PBB ini. Sehingga yang harus dibuat oleh orang Papua  adalah menuntut pertanggung jawaban hukum sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat Amerika,Belanda dan Indonesia. Mereka harus pertanggungjawabkan semua pelanggaran HAM dan korban yang tidak berdosa sebagai akibat dari perjanjian mereka saat ini.
Yang harus di ketahui oleh semua Orang Papua adalah secara hukum Internasional kalian adalah pihak yang sama sekali tidak diikat dengan kepentingan – kepentingan dalam negosiasi negatif  dan pasif  dan perjanjian (New York Agreement) yang sarat kepentingan ini. Sehingga  secara hukum perjanjian, New York Agreement tidak pernah ada buat Orang Papua, karena hanya mengikat para pihak yang bersepakat. Selain perjanjian ini telah mencederai prinsip dan unsur hukum Perjanjian, serta prinsip – prinsip negosiasi yang benar. Dengan demikian  Papua saat ini masih ada dibawah pasal 73 Konvensi PBB mengenai wilayah tanpa pemerinthan (Dekolonisasi) yang menunggu Merdeka.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Papua. Tinggal di bumi Amungsa

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York"

Posting Komentar