Masyarakat papua melakukan pengucapan syukur untuk kerja ULMWP hingga tahun 2016-dok-jubi |
MAJALAHLAPAGO,
JAYAPURA - Sinyal positif akan diterimanya ULMWP sebagai
anggota penuh MSG pada Desember 2016 mendatang adalah pengakuan paling
signifikan terhadap identitas politik West Papua sejak administrasi United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) 1960-an.
Patrick M. Walsh, peneliti di Observer Research Foundation, seperti dilansir eastasiaforum.org Sabtu (5/11/2016), mengatakan hal itu seiring meningkatkan pembicaraan isu West Papua di kawasan Pasifik.
“Peluang keputusan oleh MSG itu kaya makna politik sekaligus menambah rumit mosaik hubungan (antar negara) yang memang sudah rumit di kawasan Pasifik,” ujar peneliti yang berbasis di New Delhi, India tersebut.
Menurut dia, kampanye Free West Papua terhadap hak penentuan nasib sendiri disamping sudah menunjukkan kemajuan nyata, juga harus cermat karena berada di tengah MSG yang sekaligus sedang bergelut dalam politik internalnya.
Dinamika baru di Forum Kepulauan Pasifik (PIF) akibat masuknya French Polynesia dan Kaledonia Baru, juga harus diperhitungkan, yang tampaknya tak berdaya atas isu West Papua.
“Meskipun kampanye Free West Papua telah mendapatkan momentum dan dukungan popular beberapa tahun belakangan ini, namun tuntutan penentuan nasib sendiri telah lama dan cukup tragis diabaikan oleh komunitas internasional, bahkan hingga saat ini,” ujar Walsh.
Hal itu, kata dia, disebabkan oleh pengabaian komunitas internasional terhadap pelanggaran Act Of Free Choice (Pepera), atau yang biasa disebut juga ‘Act of No Choice’ 1969 akibat tidak adanya pilihan dan
partisipasi bebas.
“Sejak Pepera, kedaulatan Melanesia di West Papua dikucilkan menjadi sekadar memori dan pergerakan perlawanan pinggiran. Hak rakyat untuk kedaulatan seperti yang dijamin PBB ditumbangkan oleh politik perang dingin, kontrak tambang bawah meja dan teror atas agresi,” ungkap Walsh.
Terlepas dari situasi yang menantang tersebut, Walsh meyakini bahwa peluang diterimanya West Papua sebagai anggota penuh di MSG akan membuat MSG menjadi kekuatan regional penting pendukung penentuan nasib sendiri, sekalipun PNG dan Fiji kemungkinan besar tidak akan mendukungnya.
“Sangat jelas bahwa rakyat West Papua telah berhasil menarik perhatian publik terhadap isu yang terus menggantung di berbagai Forum tersebut, yaitu pendirian kolektif mereka atas dekolonisasi,” tegas Walsh.
Terpisah, Budi Hernawan, peneliti di Abdurrahman Wahid Centre, seperti dilansir liveencounters.net meramalkan status keanggotaan penuh di MSG tersebut masih rentan. “Perkembangan terkait isu ini menunjukkan perbedaan tak terdamaikan di dalam MSG seiring keputusan yang harus diambil berbasis konsensus,” ujar Hernawan
.
Dalam konteks ini, lanjutnya, ditambah dengan tidak adanya perubahan respon dari Jakarta, membut ULMWP harus kerja lebih keras.
Patrick M. Walsh, peneliti di Observer Research Foundation, seperti dilansir eastasiaforum.org Sabtu (5/11/2016), mengatakan hal itu seiring meningkatkan pembicaraan isu West Papua di kawasan Pasifik.
“Peluang keputusan oleh MSG itu kaya makna politik sekaligus menambah rumit mosaik hubungan (antar negara) yang memang sudah rumit di kawasan Pasifik,” ujar peneliti yang berbasis di New Delhi, India tersebut.
Menurut dia, kampanye Free West Papua terhadap hak penentuan nasib sendiri disamping sudah menunjukkan kemajuan nyata, juga harus cermat karena berada di tengah MSG yang sekaligus sedang bergelut dalam politik internalnya.
Dinamika baru di Forum Kepulauan Pasifik (PIF) akibat masuknya French Polynesia dan Kaledonia Baru, juga harus diperhitungkan, yang tampaknya tak berdaya atas isu West Papua.
“Meskipun kampanye Free West Papua telah mendapatkan momentum dan dukungan popular beberapa tahun belakangan ini, namun tuntutan penentuan nasib sendiri telah lama dan cukup tragis diabaikan oleh komunitas internasional, bahkan hingga saat ini,” ujar Walsh.
Hal itu, kata dia, disebabkan oleh pengabaian komunitas internasional terhadap pelanggaran Act Of Free Choice (Pepera), atau yang biasa disebut juga ‘Act of No Choice’ 1969 akibat tidak adanya pilihan dan
partisipasi bebas.
“Sejak Pepera, kedaulatan Melanesia di West Papua dikucilkan menjadi sekadar memori dan pergerakan perlawanan pinggiran. Hak rakyat untuk kedaulatan seperti yang dijamin PBB ditumbangkan oleh politik perang dingin, kontrak tambang bawah meja dan teror atas agresi,” ungkap Walsh.
Terlepas dari situasi yang menantang tersebut, Walsh meyakini bahwa peluang diterimanya West Papua sebagai anggota penuh di MSG akan membuat MSG menjadi kekuatan regional penting pendukung penentuan nasib sendiri, sekalipun PNG dan Fiji kemungkinan besar tidak akan mendukungnya.
“Sangat jelas bahwa rakyat West Papua telah berhasil menarik perhatian publik terhadap isu yang terus menggantung di berbagai Forum tersebut, yaitu pendirian kolektif mereka atas dekolonisasi,” tegas Walsh.
Terpisah, Budi Hernawan, peneliti di Abdurrahman Wahid Centre, seperti dilansir liveencounters.net meramalkan status keanggotaan penuh di MSG tersebut masih rentan. “Perkembangan terkait isu ini menunjukkan perbedaan tak terdamaikan di dalam MSG seiring keputusan yang harus diambil berbasis konsensus,” ujar Hernawan
.
Dalam konteks ini, lanjutnya, ditambah dengan tidak adanya perubahan respon dari Jakarta, membut ULMWP harus kerja lebih keras.
“Di
satu sisi, mereka (ULMWP) harus mengarahkan negosiasi dengan kekuatan politik
di Jakarta dan Pasifik, secara domestik mereka juga harus menjawab ekspektasi
konstituennya. Jika pemimpin ULMWP bisa menjawab tantangan ini, mereka akan bisa
membuktikan kesolidannya. (Sumber:
tambloidjubi.com)
0 Response to "Tantangan penentuan nasib sendiri West Papua, ULMWP harus kerja keras "
Posting Komentar