Apa penyebab kematian anak-anak dimbua? |
MAJALAHLAPAGO - Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan Mahasiwa yang tergabung dalam Tim Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua, Kabupaten Nduga, Papua ketika melakukan investigasi kasus kematian anak di Wilayah Mbua sejak 26 Desember 2015 hingga 1 Januari 2016, menemukan beberapa penyebab.Sehingga angka kematian anak ssemakin meningkat dari 47, naik 57 dan kini 74 yang tidak banyak beredar di media massa.
Tim Solidaritas juga menyatakan, berdasarkan pengakuan masyarakat, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, maupun Pusat tidak perna ke kampung-kampung di tiga distrik, melainkan hanya mengambil data dari Distrik Mbua.
“Jumlah total kematian anak yang terjadi sejak November 2015 sebanyak 51 anak. Jadi angka kematian di media antara 47, 57 dan 74 itu salah, itu angka yang salah. Jadi dengan investigasi yang kami lakukan membuktikan angka kematian yang sebenarnya adalah 51 anak,” kata Koordinator Tim Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Nduga, Arim Tabuni kepada SUARAPAPUA.COM di Wamena, Sabtu (2/1/2015).
Selain itu, Tabuni menepis adanya pemberitaan media jika Kejadian Luar Biasa (KLB) Pertusis yang disampaikan pihak Kementerian Kesehatan Pusat ke Pemda Papua melalui surat tanggal 8 Desember 2015 itu terjadi hanya di distrik Mbua dan Mbulmu Yalma.
Sesunguhnya, kata Tabuni, KLB itu terjadi di tiga distrik, yakni Distrik Mbua, Dal dan Mbulmu Yalma, termasuk di beberapa distrik di wilayah Mbua.
Mbua adalah salah satu wilayah besar yang sudah dimekarkan menjadi beberapa distrik, diantaranya distrik Mbua, Dal dan Mbulmu Yalma.
“Jadi selama ini kami perhatikan media hanya angkat kejadian di distrik Mbua saja, padahal ketika kami turun melakukan penelitian ternyata KLB itu terjadi di tiga distrik dan daerah lainnya,” ucap Tabuni lagi.
Ia juga mengatakan, tim dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Kementerian dan Dinas Kesehatan Kabupaten yang ke Mbua tidak perna mengambil data langsung ke masyarakat di tiga distrik, mereka hanya menerima data di Mbua.
“Tim ke tim yang turun ke sini (tiga distrik) tidak perna turun langsung cek ke kami, tapi mereka hanya di Mbua saja lalu balik. Kami juga dapat janji bantuan dari tim-tim yang turun, tapi mana tidak pernah datang lagi, sedangkan kematian terus terjadi,” ujar Teko Kogoya, menirukan peryataan masyarakat setempat.
Kogoya juga menyatakan, tim turun dengan Bama di Mbua bukan merupakan sebuah bantuan yang mau diberikan, itu mereka hanya cek-cek saja.
“Ini juga bukti, ketika kami satu minggu di sana didepan kami 4 orang meninggal, jadi jumlah sebelumnya 47 dengan 4 orang itu menjadi 51.”
“Jadi kami harap pemerintah segera merespon kasus kematian yang sedang berlanjut ini. Tim-tim yang turun harus berkelanjutan, tidak hanya pergi satu kali pulang kembali dengan janji tidak perna lagi ke sana, supaya kasus kematian yang terjadi ini bisa dihentikan dengan pengobatan yang berkelanjutan. Kasian, anak-anak yang mati bukan binatang, mereka adalah manusia yang harus direspon pemerintah,” ungkapnya.
Selain itu, Kogoya mengatakan, di tiga distrik tidak ada tenaga medis yang bisa melayani masyarakat termasuk Puskesmas, dan kondisi ini sudah ada sejak Kabupaten Nduga dimekarkan.
Wene Telenggen, perwakilan Ikatan Mahasiswa Nduga (IMN) kota study Jayapura menilai, ada kelalaian yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang akibatnya terjadi kematian anak yang hingga hari ini terus terjadi.
“Kami mohon dokter-dokter orang asli Papua dan mantri-mantri orang-orang Nduga itu harus ditempatkan di setiap distrik yang ada, supaya mereka bisa melayani masyarakat dengan baik,” pintah Telenggen.
Anehnya lagi kata Telenggen, kasus kematian anak ini terjadi karena kelalaian pihak Dinas Ksehatan yang selama ini tidak aktif bertugas di Kabupaten Nduga.
“Jadi kami melihat ada kelalaian dari Dinas Kesehatan Nduga, dimana Bupati keluar daerah, mereka (Pihak Dinas Kesehatan) juga ikut keluar daerah masing-masing, sehingga perhatian mereka tidak ada ke masyarakat, akibatnya anak-anak jadi korban,” ungkapnya.
Sementara itu, Soleman Itlay, perwakilan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Efrem cabang Jayapura mengatakan, Dinas Kesehatan dan Kemenkes RI berdasarkan hasil laboraturium menemukan penyakit Pretusis dan Tupes Kolosit, namun sayangnya penyebab maupun gejala-gejala yang dialami masyarakat akibat penyakit-penyakit itu tidak disampaikan.
Jujur kata Itlay, bagian ini membuat masyarakat bertanya-tanya apa penyebab dan gejala-gejala yang dialami.
“Jadi kami khawatir jika masyarakat belum tahu penyebabnya dan akibatnya mereka secara tidak langsung tidak bisa menghindari penyakit itu. Bisa-bisa korban terus berjatuhan hanya karena tidak bisa menghindari penyakit-penyakit mematikan itu hingga generasi Papua di wilayah Mbua, Nduga habis. Jadi penyakit jika sudah ditemukan, penyebab dan gejalanya juga harus disampaikan secara terbuka.”
Sedangkan, dalam konteks Otonomi Khusus, Itlay merasa Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Nduga tidak menggunakan dana otonomi khusus dengan baik, sehingga dana 80 persen yang di bagi ke kabupaten sebesar 3,5 persen mubasir, akibatnya masyarakat wilayah Mbua kondisi kesehatannya memprihatinkan.
“Kami pertanyakan, dana sebesar itu bikin apa? Terutama kabupaten Nduga yang masyarakatnya sedang melarat. Kami minta segere perhatikan masyarakat,” pungkasnya.
Selain itu, berdasarkan wawancara langsung dengan masyarakat, kata Itlay, pihaknya menemukan ada gejala dominan kepada warga sebelum meninggal, seperti batuk, menggigil, mencret, muntah dan beberapa gejala lainnya.
Masyarakat juga mengakui, katanya, sebelum musibah kematian terhadap manusia, pada bulan Agustus-Oktober 2015 ada kematian yang terjadi terhadap hewan peliharaan, seperti Babi, Ikan, Ayam, Katak dan Ular dan kematian hewan ini mereka (Tim kesehatan) melakukan tes laboratorium, namun belum menyampaikan hasilnya.
“Kami meminta penyebab dari kematian hewan peliharaan masyarakat ini segera diumumkan, supaya seluruh masyarakat tahu dan bisa antisipasi.”
“Masyarakat juga menjawab sebagian babi mati tiba-tiba, sebagian juga mengalami sakit 1-3 hari kemudian mati. Ada gejala babi sebelum mati seperti, menggigil, tidak bisa makan, tidak bisa jalan dengan sempurna dan tidak bisa banyak bergerak diluar,” ujarnya.
Mereka juga mengakui, masyarakat wilayah Mbua belum merasakan pelayanan oleh petugas medis kaki telanjang dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang selama ini digembor-gemborkan.
“Mereka sampai di lokasi enak-enak dan terima gaji enak-enak, dengan penderitaan masyarakat di sana.”
Berikut data kematian hewan peliharaan di tiga distrik berdasarkan investigasi yang disampaikan Tim Solidaritas Korban Jiwa Wilayah Mbua.
Di distrik Mbua , 136 Ekor Babi, 195 Ekor Ayam, 23 ekor/bibit Ikan dan 3 ekor Kelinci. Di distrik Dal, 144 ekor Babi, 56 ekor Ayam, 4 ekor ikan dari 2 kolam. Di distrik Mbulmu Yalma, 13 ekor Babi, 25 ekor Ayam, 1 kolam Ikan.
Selain itu, pihaknya menemukan obat-obat expired atau kadarluasa yang masih digunakan pihak kesehatan di Pustu Dal. Diantaranya, obat Bakarbon sebanyak 3 Botol, waktu produksi Juni 2015 dan expired Desember 2015. Obat Lido Caine sebanyak 4 dos produksi 10 September 2011 dan expired September 2014.
Vitamin B sebanyak 8 Botol, produksi Juni 2013 dan expired 2015, obat Oxyblotic 9 botol, produksi September 2015 dan expired 2013. Obat Tetracycline 1000 sebanyak 6 botol, produksi November 2013 dan expired November 2014. Obat Tetrasanbe 500 sebanyak 8 tablet, produksi 2011 dan expired November 2015.
Obat Cotrimoxazole sebanyak 2 dos, produksi 2015 dan expired 2011. Tablet tambah darah 2 dos produksi Mei 2010 dan expired 1 Mei 2015. Obat Dexamelhazone 20 dos produksi 2011 expired 2014. Obat Metronidasol 500 Mg 27 dos, produksi September 2011 dan expired September 2015. Vitamin 1000 tablet produksi Juli 2011 dan expired Juli 2015.
Sumber: Suarapapua.com
0 Response to "Pemerintah Diminta Segera Umumkan Penyebab Kematian Anak-Anak di Mbua"
Posting Komentar