Koteka, “Pakaian Adat” Yang Harus Dipertahankan Generasi Mudah Papua


SUARA WAMENA - Meski Undang-Undang pornografi Nomor 44 Tahun 2008 sudah disahkan, di Papua, masyarakat pedalaman masih memakai pakaian tradisonal mereka, koteka, pemerintah tidak akan bisa memaksanya memakai celana.

Koteka adalah penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa suku di Papua. Bagi pria yang terkenal dan berwibawa dalam masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir berwarna-warni.Koteka terbuat dari buah labu. Labu tua dipetik, dikeluarkan isi dan bijinya kemudian dijemur.
Kata koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya pakaian. Di Wamena koteka disebut holim. Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantung besar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya aksesoris bagi si pemakai.

Tubuh yang kekar bagi seorang pria berkoteka adalah idaman seorang wanita suku Pegunungan Tengah seperti Suku Dani. Agar penampilan seorang pria lebih perkasa dan berwibawa, seluruh bagian kulit luar termasuk rambut dilumuri minyak babi agar kelihatan hitam mengkilat dan licin bila terpanggang matahari. Lemak babi itu dioleskan di wajah, pinggang, kaki, dan tangan. Biasanya dipakai pada saat pergelaran pesta adat seperti bakar batu.

Koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan “tidak beradab”. Tetapi, dari sisi orang Papua, koteka adalah pakaian resmi orang Papua.

Sejak tahun 1964, kampanye antikoteka secara bertahap digalakkan. Tetapi, kampanye antikoteka dengan cara itu tidak banyak membantu masyarakat koteka. Satu dua potong pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan.

Kini manusia koteka di dalam kota Wamena sudah semakin berkurang. Hanya dua-tiga manusia koteka sengaja hadir di Bandara Wamena untuk dipotret oleh para turis asing, kemudian mereka meminta bayaran Rp 5.000-Rp 100.000, tergantung kesepakatan. Manusia koteka pun sering dijadikan obyek wisata oleh pemerintah daerah setempat. Di satu sisi, pemerintah berupaya membasmi koteka, namun di pihak lain pemerintah juga mempromosikan manusia koteka ke dunia luar untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Koteka, “Pakaian Adat” Yang Harus Dipertahankan Generasi Mudah Papua"

Posting Komentar