Ahmad Yunus (tengah) dan Victor Mambor (kanan), dua pembicara dalam diskusi jurnalisme di Papua yang diselenggarakan di Bandung, Sabtu (12/11/2016) - Mateus Tekege |
BANDUNG, PACEKRIBO - Puluhan pemuda dan mahasiswa/i dari berbagai Organisasi Kampus dan komunitas di Kota bandung Sabtu (12/11/2016) lalu berdiskusi tentang jurnalisme di Jatinangor, Sumedang. Diskusi ini diprakarsai oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran dan Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (SORAK) Bandung.
Dalam diskusi yang berlangsung di Saung Budaya Sumedang (SABUSU), area UNPAD Jatinangor ini terungkap beberapa persoalan mengenai jurnalisme dan pers di Papua. Mulai dari masalah amplop (suap) kompetensi jurnalis hingga upah layak untuk seorang jurnalis.
"Secara umum, persoalan jurnalisme dan pers di Papua hampir mirip dengan persoalan di kota-kota "pinggiran" Indonesia. Hanya saja, persoalan di Papua jadi tambah rumit karena persoalan sejarah Papua yang masih kontraversi hingga saat ini," kata Victor Mambor, jurnalis senior yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini.
Ia menambahkan, apapun yang terjadi di Papua, tidak bisa dilepaskan dari soal kontraversi itu. Pada akhirnya, jurnalisme dan pers di Papua pun tidak bisa secara terbuka menyampaikan informasi faktual tentang Papua. Informasi yang seharusnya bersifat fakta cenderung menjadi sangat bias kepentingan sehingga fakta sebenarnyapun tidak terungkap.
"Ini konsekuensi logis yang harus diterima sebab jurnalisme di Papua didominasi oleh talking news. Kepentingan narasumber menjadi dominan dalam pemberitaan. Ditambah dengan upah yang masih jauh dari layak, jurnalisme di Papua sarat dengan aroma suap atau amplop," tambah Mambor.
Mengenai perubahan kondisi pers dan jurnalis di Papua sejak Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan terbukanya akses jurnalis asing di Papua, Mambor mengakui ada perubahan, meski belum signifikan.
"Beberapa jurnalis asing sudah bisa melakukan liputan. Namun beberapa lainnya belum bisa, terutama yang berniat melakukan liputan secara independen," kata Mambor.
Ia menambahkan, walaupun secara umum ada perubahan yang positif pada kebebasan pers di Papua, tapi masih terjadi kekerasan terhadap jurnalis, terutama jurnalis asli Papua dan pemblokiran pada situs berita yang menyuarakan aspirasi rakyat Papua, seperti yang terjadi pada situs berita suarapapua.com.
Pembicara lainnya, Ahmad Yunus, anggota Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung menyebutkan masalah pembiayaan liputan yang sangat mahal di Papua sebagai salah satu persoalan masih belum munculnya informasi faktual, terutama persoalan pendidikan dan kesehatan di wilayah pedalaman Papua.
"Padahal, pemberitaan soal pendidikan dan kesehatan ini yang harus diperbanyak. Selain biayanya mahal untuk melakukan liputan independen, kadang-kadang lokasinya sangat terpencil sehingga hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki," ujar Ahmad Yunus. (*)
Artikel ini ditulis oleh Mateus Tekege, Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Bandung
0 Response to "Mahasiswa Bandung diskusikan jurnalisme dan pers di Papua"
Posting Komentar