GempaR dan Mahasiswa Papua Memberikan Pres Menolak Industrialisasi di Papua. Jumpa Pers diadakan di Aula USTJ, Senin, (14/11/16) (Foto: Alexander Gobai/KM) |
JAYAPURA, PACEKRIBO – Gerakan Mahasiswa Papua dan Rakyat Papua (GempaR-Papua), dan mahasiswa Papua menolak secara tegas atas kehadiran industrialisasi di seluruh tanah Papua yang beroperasi dari tahun 1967-2016 di tanah Papua.
Dalam Jumpa Pers, , Senin, (14/11/16) di Aula USTJ, Papua, Juri Bicara (Jurbir) GempaR Papua, Alfa Rohrohmana mengatakan kehadiran industrialisasi yang ada di tanah Papua sangat merusak tatanan kehidupan rakyat asli Papua.
Menurutnya, dari tahun 1967-2016 telah terdata perusahaan yang beroperasi baik di Papua Barat dan Papua. Perusahaan pertambangan di Papua barat telah menguasai lahan 3.178.722 ha dengan 155 izin perusahaan. Sedangkan Perusahaan pertambangan di Papua 5.932.071 ha dengan 125 izin perusahaan.
Perusahaan HPA (Hak Penguasaan Hutan) sendiri di Papua barat 5.388.983 ha dengan 35 izin perusahaan, sementar di Papua 7.945.277 Ha dengan 41 Izin perusahaan.
Perusahaan sawit secara keseluruhan Papua dan Papua barat adalah 2.453.484 ha. Sedangan perusahaan HTI secara keseluruhan adalah 4.321.118 atau kurang lebih telah menguasai lahan hampir 24 Juta hektar di seluruh tanah Papua, Papua barat dan Papua.
“Kawasan wilayah eskploitasi Ini semua terdapat dalam kawasan hidup rakyat asli Papua. Terdapat di kawasan itu, karena dilakukan pemerintah dengan cara-cara yang manipulatif dan tidak manusiawi,”bebernya.
Padahal, kata dia, kehidupan OAP sangatlah tegantung kepada tanah, hutan dan segala hidup didalamnya.
Ia menilai, pemerintah Papua sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, hampir tidak memberikan perlindungan dan keberpihakan masyarakat adat khususnya masyarakat Asli Papua.
“Implementasi UU Otsus Papua No. 21 Tahun 2001 dipertanyakan. Walaupun dalam Bab I ketentuan Umum pasal 1 huruf I disebutkan bahwa pemberlakukan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, HAM, Supremasi hukum, demorasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara,”katanya.
“Dalam pasal 43 UU Otsus dijelaskan juga komitmeen permerintah untuk melakukan perlindungan dan keberpihakan kepada masyarakat hukum adat”.
Ini semua di dalam pelaksanaannya masyarakat adat hanya dijadikan objek pembagununan.”
Lebih baik, ditutup saja semua perusahaan atau industrialisasi yang beroperasi di tanah papua.
Sementara itu, Ketua BEM USTJ, Nelius Wenda, mengharapkan, pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan MRP perlu mendata ulang perusahaan yang beroperasi di Papua, apakah perusahaan memberikan kontribusi pada orang Asli Papua atau tidak, kira-kira berapa persen yang didapatkan.
“Jika tidak, kami menolak secara tegas atas industrialisasi yang beroperasi di tanah Papua. Karena perusahaan yang di Papua sudah merusak kehidupan tatanan rakyat Papua,”ungkapnya.
Samuel Kobepa, Komisariat GempaR STIH Umel Mandiri, juga menyatakan pemerintah pusat dan daerah harus transparan terhadap setiap perjanjian perusahaan dan pemerintah kepada masyarakat.
“Kami menutut agar menutup setiap perusahaan-perusahaan nasioanal dan asing yang tidak memenuhi standar operasional di Papua,”katanya.
“kami menindak tegas aparat keamanan TNI/Porli yang melakukan kekerasan kepada masyarakat pemilik tanah di wilayah-wilayah perusahaan,”tambahnya.
Lucky Siep, perwakilan Mahasiswa Uncen dari Fakultas FISIP, menambahkan juga bahwa pemerintah Papua atau NKRI untuk segera tutup dan cabut Industrialisasi yang terjadi di tanah Papua dan merampas hak-hak masyarakat adat Papua.
“Misalkan, di Merakuke proyek MIFEE, Kerom proyek PT. Rajawali dll, di Timika proyek PT. Freeport Indonesia, di Manokwari proyek kelapa sawit, di sorong Minyak Bumi, di bintuni, fak-fak Proyek LNG tangguh dan perusahaan loging dan kelapa sawi lainya yang ada di tanah Papua,”ungkapnya. (kabarmapegaa.com/Alexander Gobai)
0 Response to "GempaR Dan Mahasiswa Tolak Industrialisasi Di Tanah Papua"
Posting Komentar