Pasukan kotena |
Cerita panjang sejarah Koteka pun, konon berhubungan langsung dengan alam religi. Berawal dari moyang mereka yang bernama Emogiki Pane dan Emobeku Pane berbuat dosa di sebuah tempat bernama Egaidimi, lalu mereka diusir dalam keadaan telanjang. Pada awalnya, dedaunan menjadi alat penutup kelamin. Namun, seiring berjalannya waktu yang mulai mengubah pola pikir dan berpengaruh pada kebudayaan, maka dedaunan tersebut diganti dengan Koteka yang tumbuh subur di kebun mereka yang berpagar. Sampai hari ini, Koteka masih tetap digunakan walaupun tidak setiap saat. Koteka ini hanya digunakan dalam acara-acara pertunjukan maupun upacara adat, sebagai bukti kesetiaan masyarakat Papua terhadap ajaran Kabo Mana (ajaran dasar hidup) yang telah turun-temurun.
Seyogyanya, mereka tak sedang bertelanjang. Mereka hanya sedang menyandang kebanggaan tradisi dan harga diri kesukuan yang sakral! Bahkan tak sembarang turis atau pendatang dapat menggunakan Koteka dengan seenaknya. Harus meminta izin sebelumnya kepada para tetua adat setempat. Seorang laki-laki sudah harus mengenakan koteka sebagai busana kebanggaannya ketika menginjak usia 5-13 tahun.
koteka ini berasal dari kulit buah labu-labuan atau Lagenaria Sicecaria yang biasanya tumbuh ramai di atas Honai atau rumah adat dari Suku Hubula dengan bentuk lonjong memanjang dan berwarna hijau dengan jenis labu air serta memiliki tekstur kulit yang keras. Masyarakat menyebut labu sebagai Bobbe. Di bagian kepala Koteka biasanya dipasangkan bulu Kasuari atau Cendrawasih
Cara membuat Koteka pun tak begitu sulit. Bobbe tua dipetik kemudian salah satu ujungnya dipotong lalu daging labu tersebut dapat dikeruk hingga semua isinya keluar dan menyisakan lubang. Tujuannya adalah untuk memudahkan masuknya alat kelamin pria ke dalam koteka tersebut. Setelah dikeruk, koteka tadi akan dipanaskan di atas api hingga berubah warna menjadi kecokelatan, lalu dilanjutkan dengan proses penjemuran yang akan memakan waktu hingga seharian. Jika semua proses telah dilalui, maka pemasangan tali pada labu adalah proses akhir sebelum Ketoka siap untuk dipakai.
Ukuran koteka selalu disesuaikan dengan aktivitas sang pengguna, mau bekerja atau upacara? Saat bekerja, yang digunakan adalah Koteka berukuran pendek agar ruang gerak menjadi lebih leluasa, sedangkan yang panjang dan dlengkapi dengan hiasan-hiasan biasanya digunakan saat upacara adat. Namun, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Misalnya anggota suku Yali yang menyukai bentuk labu panjang, sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Juga tersiar kabar bahwa semakin tinggi jabatan dan strata sosial dalam suku tersebut, maka semakin besar juga ukuran Koteka yang disandang. Anak-anak kepala suku biasanya memakai koteka yang berbentuk bulat. Pada kalangan raja atau kepala suku, koteka akan menjadi warisan sakral kepada anak cucunya ketika sang raja atau kepala suku wafat. Tak jauh bedanya dengan raja-raja pada kerajaan Jawa yang mewariskan tongkat atau kerisnya kepada penerus garis darahnya.
Jika ingin melihat berbagai atraksi budaya yang begitu eksotis dengan mengenakan Koteka oleh masyarakat pegunungan tengah Papua, Festival Budaya Lembah Baliem yang akan berlangsung dari tanggal 08 hingga 10 Agustus 2016 akan menjadi momen yang sangat tepat untuk menjadi bagian dari festival kebanggan masyarakat pegunungan tengah Papua.
0 Response to "Koteka; Buah Labu Yang Menjadi Busana Kebanggaan"
Posting Komentar