Orang Asli Papua tidak Saling Mendukung Lebih Jahat dari Senjata

Penulis
Sejak tahun 1969, Papua diintegrasikan secara aneksasi kedalam wilayah Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui militer dianggap melakukan tindakan kekerasan, interogasi, pembunuhan, penculikan, menipulasi, dan dibawah todongan senjata memaksa orang untuk menentukan nasibnya. Pepera 1969 itu dianggap ilegal dan catat hukum karena tidak sesuai prinsip hukum internasional dan Hak Asasi Manusia.

Sejak itulah Pro-Kontra antara Perjuangan Papua Merdeka dan NKRI harga mati melahirkan konflik vertikal antara pemerintah RI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan terjadi pula konflik horizontal antara Orang Asli Papua dan Orang Non-Asli Papua. Konflik ini tak kunjung henti hingga memasuki tahun 2018/2019.

Misalkan, tahun 2018 operasi militer besar-besaran di Kabupaten Nduga setelah penembakan 23 orang pekerja jalan trans Papua, hingga saat ini pemerintah enggan menarik pasukan dan sebagai akibatnya masyarakat mati kelaparan karena harus mengungsi, sebab kedamaian dan kenyamanan mereka terancam. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan kesehatan yang layak. Desakan pemerintah daerah dan masyarakat Papua untuk menarik pasukan militer tidak dihiraukan oleh Presiden (Ir. Hj. Joko Widodo). Lalu tahun 2019, menjelang HUT 17 Agustus 1945 tindakan rasisme dilakukan oleh ormas-ormas dan TNI/Polri di Surabaya (Jawa Timur) terhadap mahasiswa Papua. Tindakan rasisme ini diprotes oleh seluruh orang Papua di berbagai daerah.
 
Pembangunan Infrastruktur terbakar habis di Papua Barat seperti Kantor DPR, Kantor MRP di Jayapura pun dibakar habis, toko-toko, kios, warung, dan rumah-rumah warga dibakar habis. Kendaraan roda dua dan empat di bakat habis. Terkahir pada tanggal, 23 September 2019 terjadi tragedi kemanusiaan di Wamena yang menewaskan 32 orang dan terjadi pembakaran kios dan ruko lantaran rasisme yang dilakukan seorang Ibu Guru Non-Papua terhadap siswa Papua. Kemudian pada tanggal yang sama mahasiswa eksodus dihadang oleh aparat menembak mati di tempat dan beberapa orang mengalami luka-luka. Lalu pelaku rasisme, dan pelaku penembakan berkeliaran bebas di bumi Nusantara, tetapi Orang Asli Papua yang menjadi korban rasisme terus menjadi korban (ditangkap, disiksa, ditembak, dan dihukum).
 
Sejarah akan mencatat bahwa Tahun 2018/2019 merupakan tahun yang kelam bagi Orang Asli Papua (OAP).

Setelah mengamati dinamika politik dan sosial di Papua, dalam sidang umum PBB tahun 2019, Papua ditetapkan sebagai daerah konflik yang mendapat perhatian serius.

Secara geopolitik dan gejolak/dinamika sosial yang terjadi di Papua tidak bisa dibendung oleh instrumen negara melalui TNI/Polri dan media masa. Pelanggaran Berat HAM tak kunjung henti, penegakan keadilan dan kebenaran masih mengalami kebuntuan. Pemerintah melalui instrumen aparat keamanan TNI/Polri melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan tragis atas nama keamanan/hukum dan kedaulatan NKRI.

Di saat situasi Papua dan Masa Depan Orang Asli Papua tidak menentu arah seperti ini, Orang Asli Papua sendiri tidak bisa bersatu, tidak bisa saling mendukung, dan bahu-membahu. Ada yang bicara A, ada pula yang bisa B. Ada yang tuntut Papua Merdeka, ada pula yang meminta Otsus Plus dan Pemekaran (DOB). Ada yang berjuang keadilan dan kebenaran, ada pula yang berjuang untuk uang, perut, dan jabatan. Orang Papua tidak bisa bersatu dan saling menjatuhkan dan meruntuhkan antara para elit-elit politik, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Gereja, Tokoh Pemuda, dan Tokoh Perempuan. Kalimat ini harus menjadi spirit kita bersama bahwa,

“Bersatu kita kuat, bercerai berai kita runtuh.”

Kekuatan Orang Asli Papua bukan senjata, terletak pada kebersamaan, Kesatuan dan Persatuan. Bersatu dalam berkata, bersatu dalam bertindak. Satu Visi, Satu Misi, Menuju Papua Merdeka (Merdeka dari perbudakan, merdeka dari kepunahan).

Apabila Orang Asli Papua (OAP) tidak bisa bersatu dan saling mendukung, maka kita akan diruntuhkan oleh kolonial Indonesia dan kita akan punah di atas Tanah Leluhur kita sendiri. (Kita akan punah seperti bangsa Aburigin di Austaralia. Dimana sejarah akan mencatat bahwa pulau ini pernah dihunii oleh Ras Melanesia, orang kulit hitam rambut keriting).

Pesan moral sekaligus keprihatinan disampaikan oleh. Pater Frans Lieshout OFM. Beliau merupakan salah satu misionaris Kristen Katolik berkebangsaan Belanda yang pernah memberitakan Injil di lembah Baliem.
 
Beliau menceritakan lebar panjang bagaimana para misionaris ini mendekati masyarakat dan kehidupan sosial culture kala itu. Dan beliau juga menyoroti pendekatan militer yang dilakukan oleh TNI/Polri bahwa saat masyarakat hendak menyampaikan aspirasi mereka dihadapkan dan dihadang dengan senjata. Tetapi beliau mengakhiri dengan mengkritik agar Orang Asli Papua mawas diri dan saling mendukung, karena dalam pendangannya di akhir-akhir ini Orang Papua tidak bisa saling mendukung, tetapi saling meruntuhkan dan melumpuhkan. Beliau mengakhiri dengan kalimat:

“Kalau orang Papua saling menjatuhkan/meruntuhkan, maka itu lebih jahat dari senjata.” Pater Frans Lieshout, OFM.

Beliau menyampaikan bahwa kalau Orang Asli Papua tidak bisa bersatu dan saling mendukung, maka itu lebih jahat (lebih sadis), dari pada senjata ( TNI/Polri). Pesan moral ini sangat penting untuk direnungkan oleh Orang Asli Papua. Orang Asli Papua harus introspeksi diri, mawas diri dan saling mendukung.

Orang Asli Papua harus bersatu melawan sistem pemerintahan yang tidak adil, tidak benar, tidak jujur (penuh manipulatif dan kepura-puraan). Orang Papua harus menolak semua iming-iming dan tawaran boneka ( pemekaran yang tidak sesuai kebutuhan). Orang Asli Papua harus hati-hati, supaya jangan sampai masuk dalam perangkap konspirasi gelap dan skanario negara untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan. Pemerintah mempunyai berbagai instrumen untuk melakukan aksi kejahatan, manipulatif, membangun opini publik dan hox secara sistematis terstruktur dan massif.

Oleh sebab itu, saat orang Papua bersatu, berdoa bersama, berjuang bersama demi keadilan dan kebenaran di atas Tanah Leluhur kita (Tanah yang diberkati Tuhan), yang diberikan oleh Tuhan (Sang Pencipta Langit dan Bumi).

Semoga bermanfaat!!!

Penulis adalah alumni Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Antropologi.

Salam Damai


Jayapura, 03 November 2019.

Penulis,

Yoti Gire, S.Sos


_______________
 
Artikel diatas sudah dimuat di blog pribadi, Lihat disini: Klik

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Orang Asli Papua tidak Saling Mendukung Lebih Jahat dari Senjata"

Posting Komentar