Orang Asli Papua. Ilst foto |
MAJALAHLAPAGO – Segenap rakyat Papua merayakan hari Pekabaran Injil ke-161. Pada 5 Februari 1855, Carl W. Ottow dan Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, Manokwari, Papua Barat. Keduanya membawa Injil, Kabar Baik bagi orang Papua. Misionaris Ottow dan Geissler membawa sosok Yesus sebagai juru selamat umat manusia.
Kehadiran keduanya serentak juga membuka ruang baru bagi orang Papua berkontak dengan dunia luar yang sebelumnya tidak dikenal. Gereja, Injil dan Yesus waktu itu menjadi “barang” baru bagi orang Papua di pulau Mansinam dan sekitarnya. Setelah 161 tahun, Gereja dan Injil hadir menyapa orang Papua, realitas sosial memperlihatkan bahwa orang Papua masih berada dalam situasi yang memprihatinkan.
Orang Papua masih menderita. Kita bisa menyaksikan hampir di seluruh tanah ini, orang Papua melarat. Mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan dan perekonomian yang memadai. Kita juga tidak bisa menyangkal bahwa ada para elit orang Papua yang hidup bergelimang harta di tengah penderitaan sesamanya orang Papua.
Para elit ini memiliki rumah dan mobil mewah. Mereka tinggal di rumah mewah dan menyaksikan penderitaan orang Papua. Mereka menggunakan mobil mewah dan lalu lalang menyaksikan sesamanya orang Papua yang menderita. Mereka kurang peduli pada sesamanya orang Papua yang menderita. Sudah 161 tahun Gereja dan Injil hadir menyapa orang Papua.
Gereja dan Injil menampilkan wajah Yesus yang berbelas kasih kepada kaum papah, orang miskin dan menderita. Yesus diterima sebagai Tuhan, menggantikan kepercayaan orang Papua akan sang realitas tertinggi yang sudah ada waktu itu. Para misionaris menganggap kepercayaan orang Papua terhadap realitas tertinggi, yang disebut dalam bahasa mereka sebagai berhala-berhala. Para misionaris mengharuskan orang Papua menerima Yesus dan Injil sebagai satu-satunya Tuhan, yang patut disembah. Para misionaris terlanjur memberi stigma negatif terhadap orang Papua.
Terminalogi yang digunakan adalah, “Gereja dan Injil datang dan meng-adab-kan orang Papua.” Akibatnya, dominasi Gereja dan Injil melampaui adat dan budaya yang sudah dihidupi oleh orang Papua turun-temurun. Injil menjadi fokus utama, sedangkan adat-istiadat orang Papua dimusnahkan. Terhadap pengalaman pewartaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris ini, saya selalu memiliki refleksi, “Gereja dan Injil datang mencabut orang Papua dari adat dan budayanya dan menggantikannya dengan Yesus dan Injil.
Sesuatu yang baru dan asing bagi orang Papua. Orang Papua dicabut dari akar adat dan budayanya. Wadah baru yang bernama Injil dijadikan sebagai pijakan bagi orang Papua. Sayangnya, wadah baru itu acapkali menghakimi ketimbang membimbing. Akibatnya, orang Papua merana. Mereka tercabut dari akarnya dan tidak mendapatkan pijakan yang kokoh.”
Fakta mempelihatkan, saat ini orang Papua sangat menderita. Orang Papua dibunuh oleh aparat militer Indonesia. Kita bisa lihat peristiwa Paniai berdarah 8 Dsember 2014. Empat pelajar mati ditembak oleh aparat keamanan. Peristiwa Tolikara 17 Juli 2015, aparat keamanan menembak mati satu orang dan puluhan lainnya luka-luka. Kita menyaksikan mama-mama Papua berjualan di emperan toko dan trotoar. Masih terlalu banyak kisah piluh yang melilit orang Papua.
Pada saat bersamaan, Gereja dan Injil, yang mengklaim meng-adab-kan orang Papua berdiam diri. Bahkan para pejabat Gereja acapkali mengikuti kelakuan para elit yang suka hidup mewah di atas penderitaan orang Papua. Para pejabat Gereja membangun gedung gereja dan pastoran mewah. Para pejabat Gereja tinggal di rumah mewah dan melupakan penderitaan umatnya. Jarang ditemukan Gereja (jemaat) mengumpulkan kolekte (derma) hari Minggu untuk membantu orang-orang miskin, mahasiswa dan pelajar yang tidak memiliki uang semester.
Gereja (jemaat) selalu diarahkan untuk mengumpukan uang untuk membangun gedung gereja dan pastoran mewah. Mengapa Gereja suka sekali membangun gedung-gedung mewah dan melupakan umat? Pada perayaan hari ulang tahun pekabaran Injil ke-161 ini, Gereja perlu merefleksikan kembali kehadirannya di Papua.
Sejauh mana kehadiran Gereja dan Injil memiliki pengaruh nyata terhadap hidup orang Papua? Gereja dan Injil sudah hadir di Papua selama 161 tahun, tetapi situasi sosial di Papua menunjukkan bahwa Gereja dan Injil tidak mampu memberikan pencerahan bagi orang Papua. Kita bisa menyaksikan korupsi menjamur di tanah Papua. Kita menyaksikan HIV/AIDS melanda membunuh orang Papua. Aparat keamanan Indonesia membunuh orang Papua. Ribuan anak-anak Papua tidak bisa bersekolah dan tidak memperoleh gizi yang baik. Jutaan orang Papua hidup di gubuk-gubuk sederhana, tanpa air bersih, listrik dan jalan yang layak.
Di manakah Gereja dan Injil? Menyimak realitas hidup orang Papua yang menderita dalam berbagai aspek hidup, apakah pantas Gereja bermegah dengan gedung-gedung mewah? Apakah pantas pejabat Gereja tidur nyenyak di dalam gedung-gedung mewah dan melupakan umat? Apakah pantas Gereja berkolaborasi dengan para pejabat pemerintah dan tidak mau menyuarakan jerit-tangis orang Papua yang menderita? Di manakah suara kenabian para pejabat Gereja? Pada perayaan 161 Injil masuk Papua ini, Gereja perlu bertobat.
Gereja perlu merefleksikan kembali kehadirannya. Apakah Gereja dan Injil hadir untuk membebaskan orang Papua dari penderitaan, atau justru menindas orang Papua dengan berbagai aturan dan dogma? Apakah Gereja dan Injil masih berdiam diri menyaksikan penderitaan orang Papua? Apakah Gereja masih membisu menyaksikan banyak orang Papua yang mati karena berbagai ketidakadilan? Patut diajukan pertanyaan, apa pengaruh Gereja dan Injil bagi orang Papua? Kalau Gereja dan Injil hadir di tengah hidup orang Papua, tetapi korupsi, pembunuhan dan ketidakadilan masih tetap melanda orang Papua, lalu untuk apa Gereja dan Injil hadir di tanah ini? Para pejabat pemerintahan dan legislatif umumnya orang Papua, menganut agama Kristen.
Mereka menerima Injil sebagai pegangan hidup. Mereka suka ke gereja. Tetapi, mengapa ketidakadilan tetap tumbuh subur di tanah Papua? Sejauh mana orang Papua menerima dan menghayati Gereja dan Injil? Sekali lagi, Gereja harus bertobat. Gereja harus bertobat dari cara pikirnya yang picik tentang adat-istiadat dan budaya orang Papua.
Gereja harus bertobat dari sikap suka memberi stigma negatif terhadap orang Papua. Gereja harus bertobat dari sikapnya yang suka membangun gedung-gedung mewah. Gereja harus bertobat dari sikap malas tahunya saat menyaksikan penderitaan orang Papua. Gereja harus bertobat dari persekongkolannya dengan para pejabat pemerintah.
Kini dan ke depan, para pemimpin Gereja di tanah Papua perlu mendengarkan jerit-tangis orang Papua. Para pemimpin Gereja harus memiliki hati yang peka terhadap penderitaan orang Papua. Para pemimpin Gereja harus memperhatikan umatnya yang miskin dan menderita. Para pemimpin Gereja tidak bisa mengatakan bahwa urusan pendidikan, kesehatan, perumahan dan ekonomi adalah urusan pemerintah saja.
Gereja memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan orang Papua. Gereja tidak bisa berpangku tangan menyaksikan penderitaan orang Papua. Siapa (kah) Gereja itu? Gereja adalah semua orang beriman yang percaya dan menerima Injil dan Yesus sebagai sang juru selamat umat manusia. Siapa (kah) pemimpin Gereja itu? Setiap pribadi yang diangkat dan ditetapkan untuk menggembalakan kawanan domba Allah. Baik Gereja, maupun pemimpin Gereja harus bertobat untuk masa depan Papua yang lebih baik.
[www.kompasiana.com]
0 Response to "Gereja dan Injil, Masihkah Menjadi Harapan bagi Orang Papua?"
Posting Komentar