Karyawan Freeport demo di Kementerian ESDM. ©2017 merdeka.com/arie basuki |
JAKARTA, (ML) - PT Freeport Indonesia sudah beroperasi puluhan tahun di Bumi Pertiwi. Tanah Papua dikeruk dan hasilnya dikirim keluar negeri. Tak hanya emas, Freeport juga menemukan kandungan tembaga dan logam lain dari setiap konsentrat yang diekspor.
PT Freeport Indonesia tercatat sudah beroperasi dari 1967 dan memegang izin Kontrak Karya (KK) dari pemerintah waktu itu. Freeport telah mengeruk kekayaan Papua berupa emas dan tembaga. Pertambangan Grasberg, Tembagapura, Timika merupakan tambang dengan kandungan emas terbesar di dunia.
Direktur Jenderal Mineral dan BatuBara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengakui Freeport selalu dimanja pemerintah dahulu. Perusahaan asal AS tersebut keenakan mengeruk alam Indonesia dan membuat mereka terlena.
"Mereka mungkin merasa keenakan, terus terang saja saya katakan mereka merasa keenakan, dengan mendapatkan keuntungan yang mereka nikmati, fasilitas yang mereka nikmati," ujarnya.
Meski demikian, Freeport disebut tak membawa kesejahteraan untuk masyarakat Papua. Selain itu, sejak masuknya Freeport di Timika yang mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dua suku besar Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat.
Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan aksi masyarakat pada tahun 1996 di Timika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi barulah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut dana satu persen itu diturunkan untuk menutupi pelanggaran yang di lakukan PT Freeport kepada masyarakat sekian tahun lamanya.
Selain itu, pelanggaran-pelanggaran kerusakan lingkungan akibat Iimbah, pelanggaran HAM, konflik sosial dan rusaknya tatanan hidup masyarakat yang sampai saat ini masih dirasakan meninggalkan goresan luka di hati masyarakat adat.
"CSR atau dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit manfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CRS itu sendiri hingga saat ini," katanya.
Lalu, berapa banyak emas Papua yang sudah dikeruk Freeport?
SVP Geo Engineering PT Freeport Indonesia, Wahyu Sunyoto mengatakan, sisa cadangan emas dan tembaga di tambang Grasberg hanya 2,1 miliar ton dari total emas dan tembaga yang mencapai 3,8 milliar ton.
"Sampai sekarang 1,7 miliar ton yang sudah ditambang, yang tersisa hanya 2,1 miliar ton," katanya di Hotel Bidakara, Senin (20/3).
Dia memprediksi, tahun 2054 cadangan emas dan tembaga di bumi Papua akan habis. Namun dia telah melakukan antisipasi agar itu tidak terjadi dengan terus menurunkan kapasitas produksi di tambang Grasberg.
"Sekarang masih tersisa (2,1 milliar ton) untuk menjaga produksi (sampai) 2054 dengan menurunkan kapasitas produksi 100.000 ton per hari," jelasnya.
Lebih lanjut perlu usaha keras untuk menemukan emas dan tambang di bumi Papua karena terkendala infrastruktur. "Penemuan (emas dam tembaga) semakin maju ada tambang tambang lainnya di Papua. Tantangan utama adalah daerah yang sangat rapat. Eksplorasi konvensional gak bisa," ujarnya.
Sudah keenakan keruk emas Papua, Freeport saat ini berpolemik dengan pemerintah Indonesia. Freeport tak mau mengikuti aturan yang telah dikeluarkan Menteri ESDM, Ignasius Jonan.
PT Freeport Indonesia secara terbuka menolak Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Salah satu isinya adalah meminta Freeport mengubah status dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar tetap bisa melakukan ekspor konsentrat. Jika tidak, maka perusahaan tambang diharamkan kirim konsentrat keluar negeri.
Bambang Gatot menegaskan bahwa Freeport harus tunduk pada aturan pemerintah. Beleid mengenai perubahan KK menjadi IUPK agar bisa ekspor konsentrat adalah harga mati.
"IUPK itu saya katakan pilihan, kalau bapak ingin ekspor konsentrat berubah lah jadi IUPK, tapi kalau tidak ekspor konsentrat silakan jadi KK, tapi harus dimurnikan untuk menjual ekspor ya sudah, bukan pemerintah memaksa, itu pilihan," kata Bambang di Hotel Bidakara, Senin (20/3).
Polemik ini akhirnya memancing masyarakat Papua. Banyak kalangan meminta agar Freeport diusir dan tutup di Papua.
Sekelompok masa berjumlah 50-an orang yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah, jalan Budi Utomo, Timika, Papua, Senin (20/3). Mereka menuntut agar PT Freeport Indonesia segera ditutup.
Juru bicara demonstran, Vinsen Oniyoma mengatakan, kekisruhan antara pemerintah dan PT Freeport telah berdampak luas pada dunia, Indonesia, Papua dan Kabupaten Mimika.
"Hal tersebut membuat munculnya banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit nasional Indonesia sampai ke Papua di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport," katanya seperti ditulis Antara.
Atas nama Masyarakat Adat Independen mereka mengambil sikap dengan tegas dan menuntut agar Freeport segera ditutup, kekayaan Freeport harus diaudit oleh badan independen.
Selain itu mereka juga menuntut agar Freeport wajib membayar upah dan pesangon pekerja yang telah dirumahkan dan yang telah di-PHK sesuai ketentuan yang berlaku.
Mereka juga meminta agar Freeport dan Pemerintah lndonesia bertanggung jawab mengembalikan kerugian alam yang sudah dirusak dan membiarkan masyarakat yang menentukan masa depan pertambangan di Timika.
Tak hanya itu, puluhan massa tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua di Bali mendatangi kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jalan Hayam Muruk, Denpasar, Bali, Senin (20/3).
Juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua, Natalis Bukega mengatakan, aksi damai ini menuntut agar PT Freeport ditutup dan tarik militerisme dan non militerisme.
"Kami tidak butuh Amerika Serikat. Alam kami rusak. Kami tidak suka alam kami dirusak. Papua adalah paru-parunya dunia," teriak salah satu orator.
Dia mengatakan, selama ada Freeport rakyat Papua menderita. "Kami tidak pernah dilibatkan dalam hal apapun. Terlebih lagi limbanya ini sangat merusak dan generasi kami selanjutnya yang menerima kerusakan ini nantinya," ujarnya.
Jika Freeport diusir, apakah Indonesia mampu mengelola emas Papua?
Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai Pemerintah Indonesia melalui perusahaan swasta nasional atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mampu mengelola tambang emas di Papua. Pemerintah disebut tidak ada alasan memberi perpanjangan kontrak karya pada PT Freeport Indonesia.
"Presiden harus segera memutuskan stop perpanjangan kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 2021," kata Fahmy.
Pemerintah Indonesia sesungguhnya mampu mengelola sendiri tambang emas di Papua dengan penguasaan saham 100 persen. Menurut Fahmy hal itu cukup beralasan, sebab Indonesia selain memiliki sumber daya alam (SDA) sendiri, juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup memadai.
"SDM kita tentu sudah banyak terlatih dengan pengalaman kerja bertahun-tahun di sana (PT Freeport Indonesia)," kata dia.
Mengenai alasan ketiadaan teknologi, menurut Fahmy, seharusnya dapat diupayakan dengan membeli peralatan dari luar negeri seperti Jepang dengan mengajukan dana pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional.
"Kalau ada kesungguhan bisa. Toh dengan aset tambang emas yang cukup besar itu akan banyak lembaga keuangan yang bersedia memberi pinjaman," kata dia.
Penguasaan penuh atas tambang emas di Papua itu menurut Fahmy perlu menjadi pertimbangan pemerintah saat ini sebab dengan pengelolaan secara mandiri akan signifikan meningkatkan penerimaan negara.
Bahkan, ia menambahkan, penerimaan negara itu akan mampu melunasi utang-utang negara. "Dengan cadangan emas yang kita miliki sendiri, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mampu menjadi Rp2.000," kata dia. [idr]
Sumber: merdeka.com
0 Response to "Enaknya Freeport keruk emas Papua tapi tak hargai masyarakat adat"
Posting Komentar