Ruko di
Jl. Trans Irian Pikhe, Kampung Likino Distrik Hubukiak, Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Ronny - SP)
|
MAJALAHLAPAGO, WAMENA — Orang non Papua terus menguasai kota Wamena,
Kabupaten Jayawijaya, Papua, dengan membangun toko dan kios yang dulunya hanya
terpusat di kota Wamena, kini terus kuasai hingga ke pinggiran kota Wamena.
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius.
Sumber : suarapapua.com
Fenomena ini terlihat dari perkembangan dan penyebaran kios dan toko yang sangat cepat di beberapa sudut di Kota Wamena terutama wilayah yang menghubungkan dengan wilayah luar kota, bahwa kios atau ruko milik para pedagang non Papua semakin banyak mengikuti perkembangan kota ke arah pinggiran kota Wamena.
Daerah Barat Wamena, jalan Homhom Moai distrik Hubikiak merupakan salah satu areal yang perkembangannya begitu pesat. Pada tahun 2005 silam wilayah ini masih tertutup hutan lebat, kios-kios hanya terlihat di sekitar pertigaan Jalan Homhom Moai dan Jalan Trans Irian. Tetapi kini ruko dan kios terus dibangun hingga jarak sekitar 3 Km ke arah luar kota.
Sedikitnya 350-an lebih kios dan ruko berjejeran di pinggiran jalan distrik Hubikiak, hampir semuanya milik para pedagang migran. Hal serupa juga tampak di sudut kota Wamena lainnya, di sebelah utara, sekitaran pasar Sinakma, kampung Honelama maupun arah distrik Napua, Kabuaten Jayawijaya.
Rosin, salah seorang pemilik kios di Sinakma mengakui, ia sudah menempati ruko tersebut sejak tahun 2012 dengan cara kontrak tahunan dari pihak TNI sebagai pemiliknya.
“Saya masih nona sudah tempati ruko itu. Tentara semua yang punya tanah ke atas itu dan kita kontrak. Sekarang sudah pindah ke rumah sendiri dan ada ruko lagi. Ruko lama juga tetap (pakai),” kata Rosin, salah seorang pemilik dan pengontrak Ruko dari oknum TNI di Wamena kepada suarapapua.com pada Rabu (2/11/2016).
Pendudukan migran disertai ruko dan kios juga terjadi di sebelah timur kota Wamena yaitu distrik Wouma dan selatan kota Wamena yaitu di wilayah Distrik Wesaput dan sekitarnya.
“Wesaput itu dari kali Baliem sampai dekat bandara sini kios-kios itu orang pendatang punya semua. Itu mulai banyak baru-baru ini tahun 2014 ke sini. Kali Baliem sudah ada jembatan itu nanti mereka bangun di sebelah lagi itu,” kata Logo, warga distrik Wesaput yang ditemui media ini.
Melihat kondisi tersebut, ia khawatir, kedepan tidak ada peluang bagi orang asli Papua (OAP) untuk berdagang sebagai mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan hidu.p
“Ini bahaya orang pendatang dorang kuasai terus ini, kita mau buka usaha, tapi mereka kuasai terus makin banyak. Jadi susah sekali,” kata Logo.
Senada juga dikemukakan warga asli Papua lainnya, Adam Wenente. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat asli Papua hanyalah proyek yang datang dan pergi, numpang lewat, selalu dinyanyikan oleh oknum-oknum di Pemerintahan tanpa ada hasil yang nyata.
“Buktinya, semua perdagangan dikuasai pendatang, pinang pun mereka (pendatang) jual, minyak, tanah, bensin, kayu bakar, lalu pemberdayaan itu mana? Pemerintah Distrik di luar kota ini juga tidak tegas, harusnya bikin aturan supaya jangan terus menyebar keluar,” kata Adam.
Terpisah, seorang tokoh wilayah adat Wio yang menjadi pusat pembangunan kota Wamena, Elgius Lagoan mengatakan, masyarakat asli wilayah adat suku Wio sejak lama tergeser ke pinggiran karena pembangunan pemerintahan di Jayawijaya bermula di wilayah adat tersebut.
“Padahal kami yang punya ulayat di sini belum memiliki hak ulayat sepenuhnya di kota ini. Kami semua ada di pinggiran kota, itu yang sering terjadi sedikit kecemburuan diantara masyarakat, khusus untuk suku Wio,” tutur Elgius.
Terkait penyebaran pedagang migran di Kabupaten Jayawijaya, Elgius Lagoan mengatakan, sudah seharusnya para pihak pemangku kepentingan di daerah ini memikirkan keseimbangan dalam hal berdagang maupun aktivitas pembangunan lainnya antara orang Papua dan para migran.
“Jadi, tidak harus monopoli oleh warga pendatang, bikin ruko dan sebagainya. Kita harap itu ada keseimbangan. Yang jelas sangat kita khawatir karena dengan adanya pergeseran, maka kami rakyat disini akan terancam,” katanya.
Elgius Lagoan yang juga anggota komisi A DPRD Jayawijaya ini menegaskan, pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk melindungi masyarakat maupun hak ulayatnya yang tersisah ini sebelum habis total.
“Saran kepada pemerintah, tempat-tempat yang tersisa ini kita buat semacam Perda begitu untuk melindungi hak ulayat masyarakat dan aktivitas ekonomi OAP supaya jelas,” ujar Elgius.
Sumber : suarapapua.com
0 Response to "Orang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena"
Posting Komentar