Solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM, dari kiri ke kanan: Frederika Korain, Pdt. Anike Mirino, Bernadetha Mahuse, Mientje Uduas, Zandra Mambrasar, Iche Murib, Fransiska Pinimet – Jubi |
MAJALAHLAPAGO – Tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua yang dibentuk pemerintah pusat belum lama ini dan melibatkan tiga orang asli Papua di dalamnya dinilai tidak mewakili suara dan harapan masyarakat Papua. Terbentuknya tim itu pun dipandang telah melenceng dari mekanisme yang semestinya dan sarat kepentingan politik.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh Zandra Mambrasar dari Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsham) Papua pada konferensi pers dikantornya bersama anggota solidaritas Perempuan Papua Pembela HAM, Jumat (10/6/2016).
Zandra mengatakan negara ini sudah memiliki Komisi Nasional HAM yang bertugas untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat, sehingga penyelesaian semua masalah HAM harus melalui lembaga tersebut.
“Kalau memang mau selesaikan masalah itu sesuai mekanisme maka itu adalah tugas komnas HAM, bukan bentukan baru yang dibuat oleh Menkopolhukam. Ini sangat politis sekali. Seharusnya, prosesnya melalui Komnas HAM, penyidikan di kejaksaan, kemudian pengadilan HAM. Itulah mekanisme yang seharusnya,” kata Zandra.
Pada April lalu, pemerintah pusat melalui Menkopolhukam dan jajarannya berjanji untuk menyelesaikan 11 kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua. Penyelesaian hukum terhadap 11 kasus itu melibatkan Mabes Polri, TNI, Badan Intelijen Negara, Polda Papua, Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Masyarakat Adat Papua, pegiat HAM dan pemerhati masalah Papua.
Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih diberi kewenangan menyelesaikan empat kasus dugaan pelanggaran HAM. Menurut Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw, seperti dikutip dari BBC Indonesia, mengatakan, keempat kasus yang akan dipercayakan kepadanya untuk diselesaikan adalah kasus hilangnya Aristoteles Masoka (10 November 2001), tewasnya aktivis Opinus Tabuni (8 Agustus 2008), kasus penangkapan Yawan Wayeni (3 Agustus 2009), serta kasus Kongres Rakyat Papua III (19 Oktober 2011).
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya diberi wewenang untuk menyelesaikan sejumlah kasus kekerasan di Papua yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Ia mengatakan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), Kasus Paniai (Desember 2014), dan satu yang masih bersifat usulan yakni kasus Biak berdarah (Juli 1998).
Tim penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM Papua itu diberi waktu bekerja oleh pemerintah sampai Oktober 2016.
Pro-kontra Tiga Orang Papua
Tim kerja yang masih memiliki empat bulan untuk menuntaskan masalah dugaan pelanggaran HAM di Papua itu menuai protes dari pegiat HAM lainnya di tanah Papua. Selain mekanisme penyelesaian yang dipersoalkan, kehadiran tiga orang Papua di dalam tim tersebut cukup mendapat sorotan.
“Matius Murib, Marinus Yaung, dan Lien Maloali adalah bukan representasi rakyat Papua,” bunyi salah satu kutipan pernyataan pers Solidaritas perempuan pembela HAM itu.
Frederika Korain, salah satu aktivis HAM Perempuan Papua yang juga seorang pengacara, dalam pertemuan itu menyatakan tim yang dipimpin Menkopolhukam dengan melibatkan tiga orang Papua itu hanya untuk rekayasa belaka dan tidak mencerminkan niat baik untuk menyelesaikan semua persoalan di tanah Papua.
“Seolah-olah, pesan yang dikirim adalah ini ada orang Papua yang mendapat tempat yang terhormat di negara ini, tetapi sebetulnya ini hanya rekayasa yang dibangun oleh pemerintah dalam rangka menutupi persoalan yang sebenarnya terjadi di tanah Papua. Apalagi beberapa orang itu mengaku diri sebagai aktifis. Kita harus tegas untuk itu, orang-orang yang dibawa ini sama sekali tidak punya kapasitas, tidak kompeten tetapi tidak juga dalam rangka menyelesaikan masalah,” tegas Frederika.
Frederika juga menyatakan pesimis masalah-masalah diselesaika oleh tim tersebut. “Bagaimana mungkin negara ini yang melakukan pelanggaran yang mau selesaikan pelanggaran yang dibuatnya sendiri? Negara saja tidak mungkin.”
Bernadetha Mahuse, aktivis HAM Perempuan yang juga berprofesi sebagai guru, menuturkan sudah tidak ada lagi rasa percaya pada pemerintah untuk menegakkan keadilan atas kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM Papua. Termasuk pada tim baru tersebut.
Ia mengatakan, demi menyelamatkan generasi penerus orang asli Papua, ia bersama aktivis HAM perempuan Papua tersebut mendesak tim pencari fakta dari Pasifik Island Forum (PIF) dengan rekomendasi pemerintah Indonesia untuk segera ke tanah Papua.
“Kami mendesak tim pencari fakta dari PIF segera datang melakukan tugasnya di Papua untuk penegakkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.
“Kami ini perempuan yang melahirkan kehidupan dan tugas kami merawat kehidupan. Menjaga dengan baik supaya sustain,kehidupan anak-anak kami itu terus menerus di atas tanah ini,” lagi ucapnya.
Menurut Bernadetha yang sudah lebih 15 tahun menjadi pegiat HAM itu menuturkan, “rahim kami bumi Papua ini sudah rusak, sudah terkoyak akibat kepentingan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak dan juga investasi yang terjadi di atas tanah ini. Banyak investor masuk untuk kepentingan perusahaan, tetapi tidak berpihak pada rakyat. Dan, itu berlansung sudah bertahun-tahun, tanpa ada penyelesaian.
“Tingkat ketidakpercayaan kami tiap hari kian menajam,” tutupnya. (tabloidjubi.com)
0 Response to "Tim HAM Versi Jakarta Sarat Kepentingan Politik"
Posting Komentar